Perencanaan Tata Ruang Wilayah yang Cerdas di Samarinda: Pelajaran dari Musibah Banjir
I. Pendahuluan
Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam perencanaan tata ruang wilayah adalah lingkungan alam. Karena manusia adalah makhluk yang hidup di permukaan bumi, maka salah satu lingkungan alam tersebut adalah kondisi geologi. Dengan demikian, informasi geologi suatu wilayah harus dikumpulkan dan dianalisis untuk memperoleh gambaran kesesuaian lahan untuk kawasan yang direncanakan di wilayah tersebut (Rencana Tata Ruang Wilayah, RTRW).
Informasi geologi yang diperlukan dalam perencanaan tata ruang wilayah terutama adalah yang berhubungan dengan sumber daya alam geologi, sifat keteknisan tanah dan batuan, serta dinamika kerak bumi. Sumber daya alam geologi-berupa air, bahan galian, dan energi – adalah material-material yang diperlukan untuk pembangunan dan pengembangan wilayah. Sifat ketektnikan tanah dan batuan berhubungan dengan kesesuaian jenis bangunan yang didirikan, termasuk tempat penimbunan sampah. Dinamika kerak bumi berhubungan dengan bencana alam geologi, yaitu gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, longsoran, erosi dan banjir.
Sumber daya alam geologi ada yang bersifat tidak dapat diperbaharui (non-renewable) atau dapat diperbaharui (renewable). Untuk yang pertama diperlukan perencanaan yang mengoptimalkan pendayagunaannya, sedang untuk yang kedua, diperlukan perencanaan yang memelihara kelestariannya. Sifat keteknikan tanah dan batuan serta dinamika kerak bumi dapat mengakibatkan adanya batasan dalam pengembangan suatu wilayah. Dengan adanya informasi dan analisis geologi seperti yang disebutkan di atas, maka dari proses perencanaan diharapkan dapat diperoleh keputusan cerdas (intellegent decision) yang menyangkut tata ruang wilayah.
II. Geologi dalam perencanaan tata ruang wilayah di Indonesia
Perhatian para ahli geologi Indonesia, senior kita mulai ditunjukkan pada perencanaan wilayah pada dekade 1980-an. Sudah sekitar seperempat abad berlalu, apakah pertimbangan geologi (geological consideration) sudah benar-benar digunakan dalam perencanaan tata ruang wilayah dan implementasi lapangannya di negara kita? Jawaban terhadap pertanyaaan ini adalah belum, untuk setiap wilayah di Indonesia, sebagaimana dapat dilihat dalam contoh-contoh berikut.
Masih segar ingatan kita betapa bencana-bencana alam geologi telah memakan banyak korban jiwa maupun materiil di negeri kita tercinta ini. Mulai dari gempa bumi dan tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta, peristiwa lumpur Lapindo di Sidoarjo, dan seringnya terjadi banjir besar di kota Samarinda. Kejadian-kejadian ini menimpa daerah pedesaan (rural)sampai daerah perkotaan. Kehilangan jiwa dan material ini seharusnya dapat dihindarkan, apabila daerah rawan bencana tersebut tidak dijadikan kawasan permukiman, dan sumber daya air dikelola dengan baik. Kedua hal ini adalah wilayah (domain) ahli geologi.
Penentuan daerah rawan bencana geologi hanya dapat dilakukan oleh ahli geologi, yang mengetahui perilaku (behavior) dari bencana tersebut. Untuk para ahli geologi, pertanyaannya adalah apakah kita sudah menyiapkan informasi untuk para perencana? Memang, seluruh Indonesia sudah dipetakan geologinya, tetapi informasi dalam peta-peta geologi tersebut masih perlu diterjemahkan kedalam bahasa yang dapat dimengerti oleh para perencana dan relevan untuk kebutuhan mereka (peta tematis). Hal ini masih ditambah lagi dengan persoalan skala peta. Dalam RTRW terdapat hirarki, untuk Nasional (RTRWN), provinsi (RTRWP), dan kabupaten/kota (RTRWK), dengan skala peta yang semakin besar. Sebagai ilustrasi, RTRWN disusun dengan skala 1: 1.000.000, RTRW 1: 850.000 dan RTRWK 1: 350.000. Peta tematis di atas harus mempunyai skala yang sama dengan peta RTRW, agar mudah dioverlay dengan peta tematis dari bidang selain geologi, karena penyusunan RTRW melibatkan banyak bidan ilmu. Agar dapat operasional, terdapat juga peta RTRW dengan skala lebih besar, yaitu Rencana Detil Tata Ruang Wilayah (RDTRW) dan RTRW kecamatan, serta peta lokasi untuk perijinan. Peta-peta tematis geologi harus disesuaikan untuk semua kebutuhan ini. Pola pikir hirarkis seperti ini adalah hal biasa dilakukan dalam geologi, dimana sebelum pembahasan geologi lokal, terlebih dahulu dilakukan pembahasan geologi regional.
Berbicara mengenai relevansi, hal berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi. Dalam RTRWN secara eksplisit dikatakan perlunya pengelolaan yang spesifik untuk kawasan rawan bencana alam geologi (banjir, abrasi, gempa bumi, lumpur vulkano-lumpur panas) dan kawasan resapan air. Pengelolaan khusus untuk wilayah banjir dan resapan air sangat mendesak untuk dilakukan di kota Samarinda. Berikut langkah-langkahnya:
- Delineasi dari kawasan, dan ini belum tentu dapat dilakukan hanya dengan menggunakan peta geologi yang kita miliki. Terutama faktor skala. Pemetaan geologi rinci atau peta geohazard perlu dilakukan. Peta geologi rinci memang menunjukkan adanya variasi litologi dan fasiesnya yang berkaitan langsung dengan sifat impermeabel dan permeabel batuan. Dengan tahap awal ini dapat diduga bahwa tidak seluruh wilayah adalah kawasan resapan air. Secara langsung dapat memetakan dimana wilayah rawan banjir dan kawasan resapan. Dugaan ini berbeda dengan pandangan umum selama ini, yang kelihatannya hanya didasarkan pada pendapat umum bahwa faktor topografi hanya dijadikan satu-satunya parameter dalam penentuan kawasan, tanpa memperhatikan faktor geologi.
- Pemda, khususnya pemkot Samarinda perlu menyadari bahwa perencanaan wilayah yang hanya didasarkan pada pendapat umum harus segera ditinggalkan karena selain merugikan masyarakat juga merugikan pemda sendiri dalam segala hal.
- Kalau memang RTRW (zoning) sudah dibuat dengan berbagai metode ilmiah yang ada dan valid, apakah pemkot Samarinda sudah konsisten dalam implementasinya? Atau malah sudah melanggar?
- Sosialisasi RTRW (zoning) kepada masyarakat kota Samarinda. Dengan demikian jika pemkot tidak konsisten dalam implementasi RTRW (zoning) maka masyarakat Samarinda dapat menentang dan membawa ke pengadilan bila zoning tersebut tidak dapat dipertahankan secara ilmiah. Hal ini sudah biasa terjadi di negara-negara maju.
- Bila ternyata dalam pembuatan RTRW (zoning) tidak valid, Pemkot Samarinda perlu berjiwa besar dalam mendefinisikan ulang RTRW (zoning) kota Samarinda dengan memperhatikan realitas kondisi alam dan masyarakat Samarinda. Contohnya adalah wilayah Temindung, Perumahan Bumi Sempaja dan Bengkuring. Apakah kawasan tersebut memang valid sebagai wilayah pemukiman ataukah sebagai kawasan tangkapan air?
Wilayah Samarinda yang terdiri dari perbukitan curam-sedang dan dataran rendah, tentu memberikan peluang: longsor dan banjir. Belum lagi intensitas dan kerapatan patahan dan kemiringan curam batuannya. Satu sisi kaya akan batubara dan mungkin minyak. Semuanya itu adalah sebagian parameter yang digunakan dalam membuat RTRW (zoning). Pertanyaannya adalah apakah wajar bila wilayah Temindung, Perumahan Bumi Sempaja dan Bengkuring yang dominan tersusun oleh batuan impermeabel dan bertopografi rendah dibangun perumahan? Belum lagi penambangan batubara yang sangat intensif di wilayah Kota Samarinda. Saya meyakini penyebab banjir di Samarinda kemungkinannya ada dua:
- Bila RTRW (zoning) nya sudah valid maka implementasinyalah tidak tidak konsisten.
- Atau RTRW (zoning) kota Samarinda benar-benar tidak memperhatikan kondisi geologi riil dan masyarakat di lapangan.
Yang jelas penentuan zoning Kota Bandung atau Palangkaraya atau kota-kota lainnya berbeda dengan Samarinda, walaupun topografinya sama tapi kondisi geologinya juga sangat berbeda. Kita perlu mendefinisikan ulang RTRW (zoning) kota Samarinda.
Kondisi geologi Samarinda yang secara geologi adalah rawan longsor, banjir sekaligus pula kaya akan sumber daya alam seperti batubara dan kemungkinan minyak bumi dan terkonsentrasinya unsur-unsur mineral tertentu. Namun demikian dalam menentukan zoning yang paling penting adalah menguntungkan masyarakat Samarinda dengan resiko terkecil.
Penambangan batubara yang dampaknya sangat merusak topografi alam, siapapun pasti tahu. Memang batubara penting bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Samarinda, namun permasalahannya adalah kita sudah kehabisan akal, kita mau mudah dan cepatnya saja dengan metode penambangan yang sama sekali tidak ramah lingkungan. Padahal batubara adalah aset semu sementara akal kitalah yang merupakan aset riil. Himbauannya adalah mari kita mendefinisikan ulang RTRW (zoning) kota Samarinda yang down to earth yang memperhatikan kondisi riil geologi Samarinda dan aspirasi masyarakat dengan menggunakan akal sehat.
https://eryarifullah.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar